Hingga akhir tahun 2025, kita menyaksikan transformasi besar dalam konsumsi media masyarakat dengan kehadiran algoritma canggih yang mendikte konten yang kita nikmati sehari-hari. Menyusul kejayaan televisi dan radio di awal milenium, kini platform seperti TikTok, YouTube, dan Spotify melambangkan era baru di mana personalisasi konten mencapai puncaknya. Namun, di tengah kemajuan teknologi ini, timbul kekhawatiran tentang bagaimana perubahan ini mempengaruhi warisan budaya kita, khususnya seni tradisional.
Daya Tarik Algoritma Modern
Di dunia digital yang berkembang pesat, algoritma memiliki kekuatan luar biasa dalam menentukan konten apa yang mendapatkan perhatian. TikTok, misalnya, menggunakan algoritma khusus yang mampu mempelajari kebiasaan pengguna, merekomendasikan video yang relevan, dan secara efektif mempertahankan perhatian penggunanya selama mungkin. Hasilnya adalah ledakan konten kreator baru dan budaya pop yang berubah dengan cepat, menggantikan eksposur tradisional dari seni dan budaya yang lebih klasik. Ini mengindikasikan bahwa konsumsi media kita lebih disesuaikan dengan keinginan instan dibandingkan apresiasi mendalam terhadap seni tradisional.
Transformasi Media: Dari Televisi ke Streaming
Sebelum tahun 2000-an, televisi dan radio menjadi raja media, membangun standardisasi dalam selera dan ekspektasi penonton. Namun, dengan munculnya platform streaming, algoritma telah mengubah cara kita menonton dan mendengarkan. Sementara sebelumnya media-media ini digunakan sebagai medium untuk menyiarkan seni tradisional secara masif, kini dukungan untuk seni-seni tersebut beralih ke ceruk-ceruk khusus di internet yang seringkali tidak dapat bersaing dengan konten viral yang lebih mudah dicerna.
Implikasi bagi Seniman dan Kebudayaan Lokal
Para seniman tradisional menghadapi tantangan besar ketika harus bersaing dengan keberagaman dan kecepatan produksi yang dihasilkan oleh algoritma. Mereka yang berkecimpung dalam tarian, musik tradisional, atau kerajinan tangan menghadapi kesulitan untuk mempertahankan relevansi dalam ekosistem di mana durasi atensi kian singkat dan penonton cenderung beralih ke konten yang lebih modern dan cepat viral. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa seni dan budaya lokal bisa semakin terpinggirkan.
Harapan di Tengah Kecemasan
Meskipun demikian, potensi media sosial dalam memperkenalkan seni tradisional kepada audiens baru tidak boleh diabaikan. Beberapa kreator telah berhasil menggunakan platform seperti TikTok untuk mendemonstrasikan keindahan seni tradisional dengan cara yang segar dan inovatif, menjangkau generasi muda yang mungkin belum pernah terpapar sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa ada peluang jika seni tradisional dapat memasuki ranah digital dengan pendekatan kreatif yang relevan.
Mengintegrasikan Teknologi dengan Tradisi
Untuk memanfaatkan potensi digital tanpa kehilangan esensi tradisi, kolaborasi antara teknologi dan seni tradisional perlu ditingkatkan. Memadukan elemen kontemporer dengan tradisional dalam konten digital dapat menjadi kunci untuk membangkitkan kembali minat di kalangan generasi muda. Upaya kolaboratif antara kreator konten digital dengan maestro seni tradisional bisa menjadi terobosan dalam menjamin kelangsungan dan pembaruan bentuk-bentuk seni ini di tengah era algoritma.
Kesimpulannya, sementara kekuasaan algoritma seperti TikTok menciptakan tantangan nyata bagi pelestarian seni tradisional, mereka juga membuka peluang baru untuk penyebaran budaya yang lebih luas dan inklusif. Penting untuk menemukan keseimbangan yang harmonis di mana teknologi dan tradisi bisa berjalan beriringan, saling memperkaya, dan memperkenankan seni tradisional menemukan ruang bernapasnya di tengah hiruk-pikuk era digital.
